Toko Buku Online Terlengkap

Wednesday, November 25, 2009

MATURE LEADER Sering kali ketika saya mengajar di kelas-kelas leadership, muncul perdebatan, soal apakah kematangan emosi (“emotionally mature”) menentukan seorang pemimpin layak disebut sebagai pemimpin yang matang? Banyak keluhan dari para eksekutif, sulit menemukan pemimpin yang handal tapi matang? Berangkat dari paradigma bahwa pemimpin diciptakan, bukan dilahirkan (Vince Lombardi, John C. Maxwell), maka bukan hanya emosi yang di”matang” kan , tetapi juga cara pemimpin bersikap, tingkat intelektualnya, level “passion”nya dan kematangan spiritualnya. Ke lima (5) kompetensi ini perlu dimatangkan oleh seorang “mature” leader (pemimpin matang) agar ia mampu mencerahkan pengikutnya. Emotionally mature (soul). Barack Obama, 47 tahun, bagi kita adalah contoh elegan dari pemimpin yang matang secara emosi, meski ia muda belia. Ia tidak pernah nampak emosional dalam keseluruhan kampanyenya. Ia memiliki 3 kualitas kematangan emosi yang tinggi, yaitu: tetap tenang, selalu arif dan nampak stabil meski hujatan dan serangan kubu McCain menghujaninya secara dahsyat terhadap dirinya & tim suksesnya. Pada akhirnya, ia bisa keluar sebagai pemenang dari pergulatan debat panjang pemilihan presiden Amerika. Hanya pemimpin yang matang emosinya yang bisa memenangkan “permusuhan” tajam yang melukai hati dan batin. Sebaliknya, pemimpin yang kurang matang (gelap mata), akan terjungkal dalam sikap emosional yang membuatnya tergesa-gesa mengambil keputusan, lalu membuat kesalahan dan kalah. Jika ia kalah, mencaci lawannya. Jika menang, ia berpesta-pora tak terkendali. Matang secara emosi berasal dari matang secara jiwa, tanda-tandanya a.l. adalah berjiwa besar, berhubungan dengan siapa saja secara baik, beretika tinggi. Obama juga dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pemimpin yang matang (change-value leader) seperti: rendah hati (“humble”), integritas dan passion. Bagaimana cara mengasah kecerdasan emosi pemimpin? “Sejak kecil perlu ditanamkan kesadaran berjiwa besar. Jika sudah kalah, segeralah mengaku kalah, itu terhormat, tidak memalukan atau mencemarkan nama baik. Tindakan itu justru menunjukkan kebesaran jiwa, kedewasaan, dan sikap ksatria (Kompas, “Belajar Mengaku Kalah” oleh Salahuddin Wahid, 15 Nov 2008). Banyak pemimpin kita, kalah di bidang ini. McCain adalah contoh “loser” yang berjiwa besar. Ia mendoakan Obama dan ikhlas dipimpin Obama sebagai presidennya. Matang sikapnya (behavior). Baru-baru ini saya dan peserta kelas leadership sama-sama membedah kualitas kepemimpinan Barack Obama dan satu pemimpin dari Indonesia yang dikategorikan pemimpin matang dan sukses. Ditemukan bahwa, dari ke dua (2) pemimpin tsb., ada 6 sikap matang mereka yang paling menonjol a.l. selalu ikhlas bekerja keras, tetap jujur, bertanggung jawab, sangat peduli, konsisten dan mengayomi timnya. Ke-6 sikap ini (sering disebut sebagai sikap super positif oleh kalangan pemimpin), ternyata mampu melejitkan prestasi yang tak terbatas dari keduanya. Sebaliknya, ada GM tua, 50th, yang sikapnya belum matang, meski usianya matang dan ternyata prestasinya biasa-biasa saja. Benar nasehat Zig Ziglar, motivator dunia, “It is not your aptitude, but it is your attitude that determines your altitude.” Sikap yang besar bersumber dari kematangan jiwa. Pemimpin yang matang, cenderung mengayomi, dibandingkan pemimpin yang kekanak-kanakan. Jika ke-2 pemimpin itu kekanak-kanakan sikapnya (bukan usianya), maka keduanya, tidak akan meraih posisi tinggi dalam organisasinya. Terbukti, yang satu presiden Amerika dan satunya pemimpin perusahaan lokal terkemuka di negara kita. Intelektualnya mumpuni (mind). Tak diragukan lagi, saat Mahmoud Ahmadinejad sebelum terpilih menjadi Presiden Iran, ia menguasai benar sikap kebijakan luar negeri Iran terhadap Amerika, persoalan nuklir dan energi dunia. Demikian juga dengan Obama, ia fasih benar mengkomunikasikan visinya tentang perang di Iran dan Afganistan, solusi ekonomi global, tentang keamanan Amerika serta program kesejahteraan rakyat Amerika di kelas bawah dan menengah. Ia membawakan tema perubahan (”change”) yang cerdas dan mencerahkan bukan saja bagi Amerika tetapi juga di dunia yang sedang demam ”Obama”. Di bidang ini, banyak rasanya calon pemimpin Indonesia di 2009, juga mumpuni secara intelektual. Tetapi apakah mereka, juga memiliki sifat kematangan yang lainnya? Jangan-jangan mereka diusung karena kemudaannya? Kata kunci untuk matang secara intelektual, ternyata bukan ijasah atau gelar, melainkan (1) kematangannya untuk terus belajar (“learning spirit”) dan (2) menguasai persoalan yang dihadapinya (“issue mastering”). Ciri dari pemimpin berintelektual tinggi adalah kepandaiannya dalam memilih alternatif solusi yang tersedia, memilah-milahnya dan memutuskannya dengan bijak dan elegan. Kecerdasan bukan hanya genius, jika itu harus genius, melainkan terampil berjalan dalam badai masalah. “Passion”nya tak diragukan (heart). Salah satu kriteria pemimpin pemenang adalah mampu mengendalikan situasi kritis yang dihadapinya. Saya menyebut “passion” sebagai “gut” (gigh, ulet, tekun). Artikel Gill Corkindale dalam Harvard Business Publishing, 7 Nov 2008 dengan judulnya “The World's First 21st Century Leader”, ia menyebutkan Obama sebagai pemimpin abad 21 ini. Menurutnya, Obama layak diusung dan dinobatkan, karena fleksibilitasnya, humilitasnya, adaptabilitasnya, dan ketahanannya (“resilience”). Andapun bisa memperdebatkan soal ini? Jim Collins dalam bukunya yang fenomenal “Good to Great”, menyarikan 2 kualitas pemimpin super sukses dunia, memiliki (1) ketegaran hati yang tidak tanggung (“resilience”) dan (2) mendemonstrasikan kerendahan hati yang “humble” (“humility”). Pemimpin yang matang, biasanya selalu dewasa (baca: tegar hati) dan rendah hati. Keinginannya sangat kuat untuk meraih apa yang diimpikan. Orang menyebutnya “result-oriented”, daya juangnya terhadap kinerja sangat tinggi. Ia tak mudah menyerah, tapi tidak sombong dan arogan. Sedangkan pemimpin yang tidak matang, biasanya selain manja (baca: tidak memiliki “passion”), yang menonjol malah arogansinya. Jika kita memiliki pemimpin jenis ini, bakalan organisasi kita atau negara kita akan mengalami kesulitan. Kita sudah pernah memiliki pemimpin jenis ini, bukan? Matang secara spiritual (spirit). Krisis moral (baca: kalah dengan egonya) tak lain diakibatkan oleh krisis spiritual. Pemimpin yang matang secara spiritual biasanya tak mementingkan dirinya sendiri. Ia matang dalam memelihara amanah sorga yang diberikannya yaitu, berbagi kebaikan, kemuliaan dan kehormatan. Itu semua dilakukannya karena ketulusannya untuk berkorban bagi pengikut yang dipimpinnya. Tiga (3) ciri pemimpin matang secara spiritual, bukan semata-mata usianya, (1) sedikit bicara, banyak berbuat bagi pengikutnya, (2) catatan integritasnya (kejujurannya) sangat baik (3) pembawa damai dan keteduhan bagi pengikutnya. John C. Maxwell menasehatkan kepada para pemimpin: ”Yang pertama harus dipimpin oleh setiap pemimpin di level mana saja, adalah memimpin moralnya sendiri terlebih dahulu, baru setelah itu memimpin orang lain.” Dalam hal yang satu ini, banyak pemimpin kita belum lulus. Indonesia menunggu pemimpin matang yang mencerahkan sekaliber Barack Obama, yang telah lulus ujian dari ”nobody” ke ”somebody”. Bukankah demikian? (Harry Purnama)

No comments:

Post a Comment

Your Comments